Sejarah Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas)
Tahun 1945 Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Namun situasi bangsa ini belum begitu kondusif. Bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan, diberlakukannya wajib militer bagi rakyat. Hal ini menjadikannya mereka berpisah dengan keluarga. Melalui perjuangan yang gigih, pada 22 Juni 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Seminggu kemudian, tepatnya 29 Juni 1949, para pejuang kembali kepada keluarganya. Inilah yang melandasi lahirnya Hari Keluarga Nasional (Harganas)
Pada saat itu pengetahuan keluarga tentang usia nikah amat rendah disamping keinginan kuat untuk mengganti keluarganya yang gugur dalam peperangan, mengakibatkan perkawinan dini tinggi. Tentunya kesiapan yang kurang saat menikah dini sangat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi ketika itu.
Tercatat dalam sejarah bahwa tanggal 29 Juni 1970 merupakan puncak kristalisasi pejuang Keluarga Berencana untuk memperkuat program Keluarga Berencana (KB), sehingga tanggal tersebut dikenal dengan tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Hari itu sebagai hari kebangkitan keluarga Indonesia. Hari bangkitnya kesadaran untuk membangun keluarga ke arah keluarga kecil bahagia sejahtera melalui KB.
Selama kurun waktu dua puluh tahun, telah banyak keberhasilan program KB termasuk menjadi tempat pembelajaran bagi negara-negara lain. Program Kependudukan dan KB berhasil meraih penghargaan UN Population Award. Pada gilirannya, pada 1992 Presiden Republik Indonesia (RI) saat itu menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional. Penetapan ini dilatarbelakangi pemberian penghargaan kepada rakyat Indonesia yang telah berjuang merebut dan mempertahankan RI dengan meninggalkan keluarganya.
Harganas dimaksudkan untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia akan pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Keluarga diharapkan menjadi sumber yang selalu menghidupkan, memelihara dan memantapkan serta mengarahkan kekuatan tersebut sebagai perisai dalam menghadapi persoalan yang terjadi.
Akhirnya, Harganas mendapat legalitas. Pada 15 September 2014 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 2014, anggal 29 Juni ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional dan bukan hari libur.
Inisiator
Prof. Dr. Haryono Suyono merupakan penggagas Hari Keluarga Nasional. Ia merupakan Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di era Presiden Soeharto. Kepada Presiden Seoharto, sebelumnya Haryono menyampaikan tiga pokok pikiran.
Pertama, mewarisi semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa. Kedua, tetap menghargai dan perlunya keluarga bagi kesejahteraan bangsa. Ketiga, membangun keluarga menjadi keluarga yang bekerja keras dan mampu berbenah diri menuju keluarga sejahtera.
Presiden Soeharto menyetujui gagasan tersebut. Maka, lahirlah Hari Keluarga Nasional yang diperingati setiap 29 Juni. Ada sejarah di balik pemilihan tanggal dan bulan tersebut. Di tanggal dan bulan itu, Tentara Republik Indonesia (TRI) yang bergerilya dalam perjuangan melawan penjajah, masuk ke Yogyakarta, dan kembali ke keluarga masing-masing.
Selain itu, 29 Juni 1970 juga menjadi puncak kristalisasi semangat pejuang Keluarga Berencana (KB). Hari Keluarga Nasional sekaligus juga sebagai pengejawantahan Hari Pertasikencana (Pertanian, Koperasi, Keluarga Berencana) yang pernah diperingati bersama sebelum peringatan Harganas diluncurkan.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ketika itu menjadi pelopor Hari Keluarga Nasional sejak 2014. Peringatan Hari Keluarga secara nasional telah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada 29 Juni 1993 di Provinsi Lampung.
Peringatan hari keluarga merupakan upaya untuk mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia, betapa pentingnya suatu keluarga. Keluarga mempunyai peranan dalam upaya memantapkan ketahanan nasional dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dari keluargalah kekuatan dalam pembangunan suatu bangsa akan muncul.
Perlu optimalisasi
Tanggal 29 Juni sebagai Hari Kelarga Nasional memang belum terlalu luas dikenal masyarakat. Bahkan aparat pemerintah pun banyak yang belum mengenal bahwa republik ini memiliki Hari Keluarga Nasional. Upaya memasyarakatkan Hari Keluarga Nasional perlu lebih dioptimalkan.
Di lain pihak, rasa memiliki akan hari keluarga harus ditumbuhkan. Masyarakat harus dapat merasakan manfaat kehadiran Harganas. Instansi pemerintah harus dilibatkan dan bertanggung-jawab terhadap pengenalan dan sosialisasi Harganas.
Hari Keluarga Nasional kerap diindentikkan dengan Keluarga Berencana (KB). Akibatnya, segala hal yang berkaitan dengan Harganas seakan akan menjadi tanggung jawab BKKBN. Padahal tidak sebatas itu. Harganas milik seluruh anak bangsa ini.
Beberapa negara lain, juga memiliki hari keluarga (Family Day). Cara memperingatinya beraneka ragam. Amerika mengenalnya dengan istilah Family Day (Hari Keluarga). Pertama kali mereka memperingatinya pada hari Minggu pertama bulan Agustus 1978. Afrika Selatan juga mengenal Hari Keluarga sejak 1995.
Australia mendeklarasikan Hari Keluarga pada Selasa minggu pertama November 2007, saat pelaksanaan Melbourne Cup. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1994 menetapkan 15 Mei sebagai Hari Keluarga Internasional.
Walaupun tanggal pelaksanaan berbeda, secara umum di negara-negara tersebut Hari Keluarga dimaknai sebagai hari berkumpulnya anggota keluarga. Ayah, ibu dan anak-anak makan bersama. Saat anggota keluarga berkumpul diharapkan menumbuhkan rasa kebersamaan dalam keluarga.
Karena tujuannya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, maka ada yang mendefinisikan bahwa Hari Keluarga tidak hanya untuk keluarga; tetapi hari yang dirayakan untuk berbagai komunitas termasuk bisnis dan kelompok masyarakat tertentu.
Harganas juga ditujukan untuk menghidupkan fungsi-fungsi yang ada dalam keluarga. Keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atau fungsi ekonomi semata, tetapi terdapat fungsi fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Lamanna dan Riedmann (1991) mengungkapkan ada tiga fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga yaitu fungsi reproduksi yang bertanggung jawab, fungsi dukungan ekonomi dan fungsi perlindungan emosional. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 dan PP Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa minimal ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga, yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.